Kisah penaklukan Andalusia (Spanyol) oleh kaum Muslimin dibawah pimpinan
Thariq bin Ziyad sudah begitu populer di kalangan umat Islam maupun
kalangan Barat. Sebuah wilayah administratif milik Inggris berikut selat
yang memisahkan daratan Spanyol dan Maroko di Benua Afrika dinamai
dengan nama yang mengandung nama Thariq bin Ziyad, Gibraltar, yang
merupakan serapan dari bahasa Arab, “Jabal Thariq”.
Thariq adalah
seorang Berber yang dilahirkan pada tahun 50 H (670 M). beliau berasal
dari kabilah Nafazah, di Afrika Utara. Thariq berperawakan tinggi,
berkening lebar, dan berkulit putih kemerahan. Dia masuk Islam di tangan
seorang komandan muslim bernama Musa bin Nusair, orang yang dikagumi
karena kegagahan, kebijaksanaan dan keberanianya.
Dalam catatan sejarah Islam yang banyak dikutip para sejarawan dan satrawan Arab, dikisahkan bahwa sebelum menaklukan Andalusia , Thariq Bin Ziyad membakar semau kapal yang mengangkut pasukannya dari Maghrib di tempat yang sekarang disebut Gibraltar. Setelah membakar semua kapal Thariq berpidato di hadapan pasukannya yang berjumlah 12 ribu orang.
Berikut petikan pidatonya:
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…
Masa Kecil Thariq bin Ziyad
Thariq bin Ziyad dilahirkan pada tahun 50 H atau 670 M di Kenchela,
Aljazair, dari kabilah Nafzah. Ia bukanlah seorang Arab, akan tetapi
seorang yang berasal dari kabilah Barbar yang tinggal di Maroko. Masa
kecilnya sama seperti masa kecil kebanyakan umat Islam saat itu, ia
belajar membaca dan menulis, juga menghafal surat-surat Alquran dan Sunnah Nabi.
Tidak banyak yang dicatat oleh ahli sejarah mengenai masa kecil
Thariq bin Ziyad, bahkan sejarawan seperti Imam Ibnu al-Atsir,
ath-Thabari, dan Ibnu Khaldun tidak meriwayatkan masa kecil Thariq bin
Ziyad dalam buku-buku mereka.
Dalam Tarikh Ibnu Nushair, sejarawan mengatakan Thariq adalah
budak dari amir Kerajaan Umawiyah di Afrika Utara, Musa bin Nushair.
Lalu Musa membebaskannya dari perbudakan dan mengangkatnya menjadi
panglima perang. Setelah beberapa generasi kemudian, status Thariq
sebagai budak dibantah oleh keturunan-keturunannya.
Jihad di Afrika Utara
Salah satu daerah yang paling strategis di wilayah Afrika Utara
adalah Maroko. Daerah ini telah mengenal Islam sebelum kedatangan Musa
bin Nushair dan pasukannya –Thariq bin Ziyad termasuk pasukan Musa bin
Nushair-. Namun penduduk di daerah ini belum menerima Islam secara utuh
dan keimanan mereka belum kokoh, terbukti dengan seringnya masyarakat
wilayah ini berganti agama dari Islam ke agama selainnya.
Posisi Kota Al-Hoceima yang penting dalam penaklukkan Maroko
Di antara penyebab pergantian agama ini karena penaklukan Maroko di
masa Uqbah bin Nafi’, kurang memperhatikan pendidikan keagamaan. Islam
belum mapan di suatu daerah, Uqbah dan pasukannya sudah berangkat ke
daerah lainnya. Selain itu keadaan bangsa Barbar di Afrika Utara yang
memang mewaspadai pergerakan Uqbah bin Nafi’. Keadaan demikian
menyebabkan masyarakat Maroko sering murtad setelah masuk ke dalam Islam
(Qishshatu al-Andalus min al-Fathi ila as-Suquth, Hal. 30).
Dalam perjalanan menaklukkan Afrika Utara, Musa bin Nushair dibuat
kagum dengan kesungguhan dan keberanian salah seorang pasukannya yang
bernama Thariq bin Ziyad. Setelah menaklukkan beberapa wilayah, akhirnya
pasukan ini berhasil menaklukkan Kota Al-Hoceima, salah satu kota
penting di Maroko. Kota ini sebagai wilayah strategis yang mengantarkan
pasukan Islam menguasai semua wilayah Maroko. Musa kembali ke Qairawan
sedangkan Thariq menetap di sana dan memberi pengajaran keagamaan kepada
masyarakat Barbar Maroko.
Menaklukkan Andalusia
Salah satu rahasia mengapa agama Islam begitu diterima di
wilayah-wilayah yang ditaklukkannya karena umat Islam tidak memperbudak
dan bukan bertujuan mengusai, akan tetapi tujuannya adalah membebaskan
wilayah tersebut, membebaskan wilayah tersebut dari tekanan pajak dan kezaliman
penguasanya serta hukum-hukum yang tidak adil bagi mereka yang non bagsawan.
Oleh karena itu, kita
jumpai wilayah-wilayah yang ditaklukkan umat Islam, penduduk pribuminya
berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Sebelum umat Islam menguasai Andalus, daratan Siberia itu dikuasai
oleh seorang raja zalim yang dibenci oleh rakyatnya, yaitu Raja
Roderick. Di sisi lain, berita tentang keadilan umat Islam masyhur di
masyarakat seberang Selat Gibraltar ini. Oleh karena itu, orang-orang
Andalusia sengaja meminta tolong dan memberi jalan kepada umat Islam
untuk menngulingkan Roderick dan membebaskan mereka dari kezalimannya.
Segera setelah permintaan tersebut sampai kepada Thariq, ia langsung
melapor kepada Musa bin Nushair untuk meminta izin membawa pasukan
menuju Andalus. Kabar ini langsung disampaikan Musa kepada Khalifah
al-Walid bin Abdul Malik dan beliau menyetujui melanjutkan ekspansi
penaklukkan Andalus yang telah dirintis sebelumnya.
Pada bulan Juli 710 M, berangkatlah empat kapal laut yang membawa 500
orang pasukan terbaik umat Islam. Pasukan ini bertugas mempelajari
bagaimana medan perang Andalusia, mereka sama sekali tidak melakukan
kontak senjata dengan orang-orang Eropa. Setelah persiapan dirasa cukup
dan kepastian kabar telah didapatkan, Thariq bin Ziyad membawa serta
7000 pasukan lainnya melintasi lautan menuju Andalusia.
Mendengar kedatangan kaum muslimin, Roderick yang tengah sibuk menghadapi pemberontak-pemberontak kecil di wilayahnya langsung
mengalihkan perhatiannya kepada pasukan kaum muslimin. Ia kembali ke
ibu kota Andalusia kala itu, Toledo, untuk mempersiapkan pasukannya
menghadang serangan kaum muslimin. Roderick bersama 100.000 pasukan yang
dibekali dengan peralatan perang lengkap segera berangkat ke Selatan
menyambut kedatangan pasukan Thariq bin Ziyad.
Ketika Thariq bin Ziyad mengetahui bahwa Roderick membawa pasukan
yang begitu besar, ia segera menghubungi Musa bin Nushair untuk meminta
bantuan. Dikirimlah pasukan tambahan yang jumlahnya hanya 5000 orang.
Akhirnya pada 28 Ramadhan 92 H bertepatan dengan 18 Juli 711 M,
bertemulah dua pasukan yang tidak berimbang ini di Medina Sidonia.
Perang yang dahsyat pun berkecamuk selama delapan hari. Kaum muslimin
dengan jumlahnya yang kecil tetap bertahan kokoh menghadapi hantaman
orang-orang Visigoth pimpinan Roderick.
Keimanan dan janji kemenangan
atau syahid di jalan Allah telah memantapkan kaki-kaki mereka dan
menyirnakan rasa takut dari dada-dada mereka. Di hari kedelapan, Allah
pun memenangkan umat Islam atas bangsa Visigoth dan berakhirlah
kekuasaan Roderick di tanah Andalusia.
Setelah perang besar yang dikenal dengan Perang Sidonia ini, pasukan
muslim dengan mudah menaklukkan sisa-sisa wilayah Andalusia lainnya.
Musa bin Nushair bersama Thariq bin Ziyad berhasil membawa pasukannya
hingga ke perbatasan di Selatan Andalusia.
Kembali ke Damaskus
Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad tidak hanya mengalahkan
penguasa-penguasa zalim di Eropa, namun mereka berhasil menaklukkan hati
masyarakat Eropa dengan memeluk Islam. Mereka berhasil menyampaikan
pesan bahwa Islam adalah agama mulia dan memuliakan manusia. Manusia
tidak lagi menghinakan diri mereka di hadapan sesama makhluk, kemuliaan
hanya diukur dengan ketakwaan bukan dengan nasab, warna kulit, status
sosial, dan materi.
Musa dan Thariq juga berhasil menanamkan nilai-nilai
tauhid, memurnikan penyembahan hanya kepada Allah semata.
Memandang keberhasilan Musa dan Thariq menaklukkan Andalusia dan
menanamkan nilai-nilai Islam di negeri tersebut, khalifah al-Walid bin
Abdul Malik memanggil mereka beruda kembali ke Damaskus.
Penutup
Sekali lagi, kisah Thariq bin Ziyad merupakan buah dari
kebijakan-kebijakan Kerajaan Umawiyah yang seolah-olah dilupakan para
pembencinya. Mereka disibukkan dengan isu-isu yang dibuat oleh
orang-orang Syiah bahwa Bani Umayyah menzalimi ahlul bait Rasulullah.
Mereka juga larut dengan kalimat-kalimat orientalis yang mengatakan
Kerajaan Umawiyah jauh dari syariat Islam. Mereka tenggelam dengan
kabar-kabar palsu itu dan lupa dengan jasa-jasa Bani Umayyah.
Bagi bangsa Eropa, tentu saja kedatangan Islam melalui Thariq bin
Ziyad membawa dampak besar terhadap perkembangan peradaban mereka,
sebagaimana tergambar pada kemajuan Kota Cordoba.
Ini adalah awal kebangkitan modern dan terbitnya matahari yang
menerangi kegelapan benua Eropa. Kediktatoran dan hukum rimba berganti
dengan norma-norma humanis yang membawa kedamaian.
Jasa-jasa Thariq dan kepahlawanannya diabadikan dengan nama selat
yang memisahkan Maroko dan Spanyol dengan nama Selat Gibraltar.