google-site-verification:google853a3110870e4513.html TAQLID DAN IJTIHAD by Nurcholish Madjid - Hikmah

Translate

TAQLID DAN IJTIHAD by Nurcholish Madjid

Jika  masalah  taqlid  dan  ijtihad  harus   ditelusuri   ke belakang,  barangkali  yang paling tepat ialah kita menengok ke  zaman  'Umar  ibn  al-Khathtab,  Khalifah  ke  II. 

Bagi orang-orang  muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh klasik  persoalan  taqlid  dan  ijtihad. Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar  berkenaan dengan  persoalan pokok  ini  ialah isi suratnya kepada Abu Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak:

"Adapun  sesudah  itu,  sesungguhnya  menegakkan  hukum  (al qadla)   adalah  suatu  kewajiban  yang  pasti  dan  tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka  pahamilah  jika  sesuatu diajukan  orang  kepadamu.  Sebab,  tidaklah  ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat  dilaksanakan."

Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang  berkedudukan tinggi  (syarif)  tidak  sempat  berharap  akan  keadilanmu.
Memberi bukti adalah wajib  atas  orang  yang  menuduh,  dan mengucapkan   sumpah   wajib  bagi  orang  yang  mengingkari (tuduhan).    Sedangkan    kompromi    (ishlah,    berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan  hal  yang halal. 

Dan  janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan  dengan  perkara  yang  telah  kau putuskan  kemarin  tetapi  kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang  benar;  sebab  kebenaran  itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih  baik  daripada  berketerusan dalam kebatilan.
Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab  dan Sunnah,   kemudian   temukanlah   segi-segi   kemiripan  dan kesamaannya, dan  selanjutnya   buatlah   analogi   tentang berbagai  perkara  itu,  lalu  berpeganglah  pada  segi yang paling  mirip  dengan   yang   benar.   Untuk   orang   yang mendakwahkan  kebenaran  atau  bukti, berilah tenggang waktu yang  harus  ia  gunakan  dengan  sebaik-baiknya. 

Jika   ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan  haknya.  Tetapi  jika  tidak,  maka anggaplah  benar  keputusan  (yang  kau  ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan  lebih  jelas  dari  ketidakpastian  (al-a'ma, kebutaan, kegelapan) ... Barang siapa  telah  benar  niatnya  kemudian teguh  memegang  pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa  yang  terjadi  antara  dia  dan  orang banyak. 

Dan  barang  siapa  bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya  (tidak  tulus), maka Allah akan menghinakannya ..."[1]



Dari kutipan surat  yang  lebih  panjang  itu  ada  beberapa prinsip  pokok  yang  dapat  kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:
Pertama, prinsip  keotentikan  (authenticity).  Dalam  surat 'Umar  itu  prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua,  prinsip  pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah  untuk  mencakup  hal-hal  yang tidak  dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.
Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan  ini  diperlukan,  sebab  suatu  kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau  dapat  terlaksana,  dan  syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

Ketiga,  prinsip  pembatalan  suatu  keputusan  perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah,  dan selanjutnya,  pengambilan  keputusan  itu kepada yang benar.
Ini bisa  terjadi  karena  adanya  bahan  baru  yang  datang kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat,  prinsip  ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas  sumber  pengambilannya (misalnya,  tidak  jelas  tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal  ini  bagaimanapun  lebih  baik  daripada  keraguan  dan ketidakpastian.

Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa  apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi  akibatnya  dalam hubungan   dengan   sesama   manusia   (seperti   terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak  (dalam bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

Dari  prinsip-prinsip  itu,  prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan  kedudukannya  sebagai  sumber keabsahan.  Karena  agama  adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya  menjadi  wewenang  Tuhan,  maka   keotentikan   suatu keputusan  atau  pikiran  keagamaan  diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam  sumber-sumber  suci, yaitu  Kitab  dan  Sunnah.  Tanpa  prinsip  ini  maka  klaim keabsahan keagamaan  akan  menjadi  mustahil.  Justru  suatu pemikiran  disebut  bernilai  keagamaan  karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu.
Share on Google Plus

About zero

“Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain kepadamu. Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalaam menjawab: “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian jujurlah kepada iman-mu(istiqamah)." Hadist Riwayat Muslim