Dan dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Satu Umrah ke Umrah lain adalah penghapus (dosa-dosa) antara keduanya, sedangnkan hajji yang mabrur tiada balasan lain selain surga (HR. Jamaah Kecuali A. Dawud).
Infomasi
dari hadits tersebut
hanya memberitahukan
bahwa suatu balasan bagi orang
yang menjalankan hajji mabrur
akan mendapatkan surga, tetapi
Nadits tersebut tidak menjelaskan
APA dan BAGAIMANA mendapatkan
hajji mabrur,
sehingga banyak umat
Islam mencoba memberikan
takwil tentang apa dan bagaimana
mendapatkan hajji mabrur, bagi
umat Islam yang masih melakukan
sinkritisme dengan ajaran jawanya,
melahirkan versi
penafsiran sesuai
dengan ajaran Jawa, demikian
juga yang melakukan sinkritisme
dengan ajaran-ajaran selain
Islam melahirkan polanya sendiri-sendiri.
Apabila
ditinjau dari sudut
pendekatannya ada
yang sangat tradisional
dan irrasional, data-data yang
digunakan dalam menganalisa
tidak dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah, rnereka lebih
menggunakan rekaan secara
spekulatif, sehingga
sebagian besar dari
mereka, cenderung memandang
hakekat hajji mabrur sebagai
suatu fenomena yang bersifat
religius, penuh dengan kesakralan,
jauh dari hal-hal yang mengandung
urusan keduniawian,
baik sebagai terapi
kemanusiaan, sosialisasi
budaya dan politik. Sehingga
banyak sekali orang-orang setelah
melakukan ibadah hajji, tidak
semakin baik sikap dan ketundukannya
kepada Allah justru
semakin berani,
mereka tidak segan-segan
mengkoreksi dan menentang hukum-hukum
Allah dan diantara mereka ada
yang meninggalkan usaha untuk
membangun masyarakat taqwa.
Untuk
menghindari hal-hal
tersebut diatas
penulis mencoba untuk
membahas hakekat hajji mabrur,
baik eksistensinya maupun orientasi
diperintahkannya umat Islam
melakukan ibadah hajji, dengan
pendekatan al-Qur'an dan
sunnah. Ditinjau dari
sudut istilahnya:
hajji artinya ziarah, sedangkan
mabrur adalah baik, sehingga
pengertian hajji mabrur adalah
ziarah yang baik atau penziarah
yang baik, secara umum umat
Islam mengartikan hajji
yang diterima.
Dalam pengertian syar'i hajji adalah orang yang melakukan ziarah ke Baitullah. Sedangkan arti dari ziarah itu sendiri adalah perkunjungan ke tempat yang keramat (Purwadarminta) bisa juga dikatakan seseorang yang mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah. Berdasarkan obyeknya, jumlahnya sangat banyak, ada yang berupa kuburan orang besar, museum, rumah-rumah peribadatan, barak-barak militer dan lain sebagainya, sedangkan ditinjau dari orientasinya, secara prinsip tiap-tiap penziarah memiliki orientasi, memiliki tujuan secara pasti sesuai dengan obyek yang dikunjunginya, orang yang melakukan ziarah tanpa orientasi, seperti orang yang berjalan tanpa tujuan, tentunya mereka akan sia-sia dalam perjalanannya.
Dalam pengertian syar'i hajji adalah orang yang melakukan ziarah ke Baitullah. Sedangkan arti dari ziarah itu sendiri adalah perkunjungan ke tempat yang keramat (Purwadarminta) bisa juga dikatakan seseorang yang mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah. Berdasarkan obyeknya, jumlahnya sangat banyak, ada yang berupa kuburan orang besar, museum, rumah-rumah peribadatan, barak-barak militer dan lain sebagainya, sedangkan ditinjau dari orientasinya, secara prinsip tiap-tiap penziarah memiliki orientasi, memiliki tujuan secara pasti sesuai dengan obyek yang dikunjunginya, orang yang melakukan ziarah tanpa orientasi, seperti orang yang berjalan tanpa tujuan, tentunya mereka akan sia-sia dalam perjalanannya.
Berangkat
dari landasan
pemikiran diatas,
orang Islam yang melakukan ibadah
hajji, sesungguhnya mereka melakukan
ziarah ke Baitullah, merupakan
tempat yang bersejarah bagi
hamba-hamba Allah.
Tentunya mereka yang
paling baik ziarahnya
adalah mereka yang paling mengetahui
dan memahami berkas-berkas sejarah
yang terdapat pada Baitullah
baik yang tampak maupun yang
tidak tampak, kemudian
mereka mampu
mengambil pelajaran dan
menjadikan terapi, prinsip-prinsip
kehidupan, ideologi, politis
dan ekonomi. Inilah menurut
tinjauan bahasa merupakan penziarah
yang baik atau hajji
mabrur, orang yang
tidak pernah mengetahui
sejarah Baitullah, khususnya
dalam kaitannya dengan nabi
Ibrahim tidak akan bisa menjadi
penziarah yang baik atau ia
tidak akan bisa memperoleh HAJJI
MABRUR walaupun setelah
hajji ia banyak
rezekinya, menjadi
kaya atau amalnya banyak, karena
banyaknya orang tidak sedikit
yang hancur karena perbuatan
amal lainnya, secara sholat
dan infaq mungkin mereka baik,
tapi secara aqidah dan
politik, amalnya ada
yang menyebabkan
mereka menjadi kafir. Untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan
informasi pengetahuan sejarah
dan kemampuan menganalisa realita,
semakin tinggi kemampuan
mereka dalam
menganalisa obyek sejarah,
semakin baik amal ziarahnya/hajjinya.
Menurut
tinjauan al-Qur'an,
tertulis dalarn surat
Ash-Shoffaat ayat
103-109, berbunyi sebagai berikut:
Tatkala
keduanya (Nahi
Ibrahim dan Nabi
Ismail) telah berserah diri
dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipisnya (nyatalah ketaatan
mereka) dan Kami panggil dia:
"Hai Ibrahim sesungguhnya
kamu telah membenarkan
mimpi itu".
Sesungguhnya demikianlah
kami memberi balasan kepada
orang ¬orang berbuat baik,
sesungguhnya ini benar-henar
suatu ujian yang nyata dan kami
tebus anak itu dengan serkor
sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk
Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang
yang datang kemudian, kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim.
Pada
ayat tersebut ada
dua hal yang prinsip
yang berkenaan dengan
ibadah hajji yaitu:
1. peristiwa penyembelihan seorang ayah terhadap anaknya, demi rnemenuhi perintah Tuhannya;
2. Pahala Allah atas Ibrahim berupa:
a. batalnya pembunuhan,
b. tempat pujian yang baik bagi Ibrahim,
c. Allah mengabadikan peristiwa itu, dengan sistem, orang-orang yang datang kemudian menirukan berbagai peristiwa besar yang telah dialami Nabi Ibrahim, sebagairnana yang terlihat pada rukun hajji.
1. peristiwa penyembelihan seorang ayah terhadap anaknya, demi rnemenuhi perintah Tuhannya;
2. Pahala Allah atas Ibrahim berupa:
a. batalnya pembunuhan,
b. tempat pujian yang baik bagi Ibrahim,
c. Allah mengabadikan peristiwa itu, dengan sistem, orang-orang yang datang kemudian menirukan berbagai peristiwa besar yang telah dialami Nabi Ibrahim, sebagairnana yang terlihat pada rukun hajji.
Pada
surat Al-Hajj ayat
26-28, kita dapat
melihat orientasinya perintah
hajji, berbunyi sebagai berikut:
Dan
(ingatlah) ketika
kami memberikan
tempat kepada Ibrahim di termpat
Baitullah. '”Janganlah
kamu memperserikatkan sesuatupun
dengan aku dan sucikanlah rumahku
ini bagi orang-orang yang
tawaf dan orang-orang
yang beribadat dan
orang-orang yang ruku' dan
sujud". Dan berserulah
kepada manusia untuk melakukan
hajji (ziarah) niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan
herjalan kaki dan mengendarai
unta yang kurus, yang
datang dari segala
penjuru yang jauh,
supaya mereka MEMPERSAKSIKAN BERBAGAI MANFA'AT dan supaya mereka MENGINGAT/SADAR
dcngan sifat-sifat
Allah pada hari yang
ditentukan atas rezeki
yang Allah telah berikan kepada
mereka bcrupa binatang ternak.
Maka makanlah sebagian daripadanya
dan (sebagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang
yang sengsara lagi
fakir.
Dari
ayat tersebut dapat
diketahui adanya
perintah untuk mempekerjakan
hajji/ziarah ke Baitullah, dengan
tujuan agar mereka mempersaksikan
hal-hal yang terdapat di sekitar
Baitullah, dengan demikian
mereka akan
mengetahui sifar-sifat
Allah khususnya yang berkaitan
dengan sejarah yang mengisi
Baitullah.
Jadi
menurut tinjauan
al-Qur'an yang
dimaksud hajji mabrur, ialah
mereka yang sanggup menguak
dan mengambil manfa'at tentang
perjalanan ziarah ke Baitullah
khususnya rahasia-rahasia yang
terdapat pada sistem
peribadahan hajji.
Siapa yangmampu melakukan
hal tersebut akan melihat berbagai
kebesaran Allah dan kebesaran
taqwanya Nabi Ibrahim kepada
Tuhannya. Hal itu akan dapat
menjadi suri tauladan bagi
pengamatnya. Orang
seperti itu, tidak akan
kikir dalam memberikan harta
dan jiwanya untuk kebesaran
Islam, sebagaimana, Nabi Ibrahim
telah mampu memberikan pengorbanan
anaknya demi suatu ketaatan.
Kalau kita mau
melihat secara
mendalam, bahwa rukun-rukun
yang terdapat pada peribadahan
hajji, merupakan PENERAPAN
ULANG TENTANG TINDAKAN NABI
IBRAHIM, DALAM RANGKA MELAKUKAN
KETAATAN KEPADA TUHANNYA.
Said
Hawwa, menyatakan
bahwa ibadah hajji
itu merupakan personifikasi/symbol-simbol
penyerahan manusia kepada Allah.
la merupakan simbol persatuan
umat Islam, manifestasi
kesetiaan kaum
muslimin terhadap kekuasaan
politik (dalam buku al-Islam).
Untuk memudahkan pemahaman hakekat
hajji, ia tidak ubahnya dengan
peringatan tentang kebesaran
Nabi Ibrahim,
sebagaimana bangsa-bangsa
lain memperingati kebesaran
para pahlawannya, sedangkan
cara memperingatinya, dengan
menirukan pola dan tindakan
Nabi Ibrahim ketika melakukan
ketaatan kepada Allah, sama
seperti ketika bangsa
Indonesia
memperingati kebesaran arek-arek
Suroboyo dalam mempertahankan
kemerdekan bangsa Indonesia.
Supaya generasi mudah memahami
bagaimana beratnya memperjuangkan
kemerdekaan, oleh
walikota Surabaya,
dilakukan suatu cara dengan
melakukan gerak jalan sepanjang
55 km, sedangkan hikmah atau
manfa'atnya pada sisi tertentu,
diharapkan arek-arek Suroboyo
pada generasi sekarang
juga dapat bersikap
seperti para
pendahulunya, apabila bangsa
Indonesia dijajah oleh bangsa
asing.
Kesimpulannya,
realitasnya,
orientasinya dan cara membesarkan
pahlawan arek¬-arek Suroboyo
sama dengan realitas, orientasi
dan tata cara hajji (memperingati
kepahlawanan Nabi Ibrahim)
maka orang yang
paling baik dalam
menggali rahasia yang terkandung
dalam peringatan tersebut adalah
orang yang paling mengetahui
informasi sejarahnya peristiwa.
Iskandar al-Warisy
Buletin Ulul Albab No.01 /Th.II/luni 1991
Buletin Ulul Albab No.01 /Th.II/luni 1991