Jika
di tanya tentang apa kontribusi manusia sebagai Khalifah fil ardh
dalam sejarah dan berbagai pengalaman dakwah yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW dan sahabat, mereka tidak pernah membeda-bedakan
antara tenaga dan harta. tidak jarang mereka yang sudah berjuang
secara fisik, masih rela keluar harta untuk perjuangan pula.
Begitupun sebaliknya mereka yang sudah banyak mengorbankan harta juga
masih memberikan yang bisa dia lakukan semisal pikiran, jasa atau
tenaga.
Satu
hal yang dapat diambil dalam hal ini adalah dalam perjuangan
dakwah menegakkan agama Allah SWT, kita harus memberikan apa yang kita punya
yang dibutuhkan oleh Islam secara totalitas, apapun itu yang kita
punyai, entah tenaga atau harta yang dimilikinya.
Terkadang
dalam dinamika masyarakat, ada saja mereka yang masih membedakan
bentuk kontribusi dan bentuk perjuangannya dalam Islam. Merasa berada
pada bidang sisi harta atau bisnis, lalu beranggapan tidak perlu
turut campur langsung dalam dunia dakwah. Sebaliknya yang berkarir
dalam dakwah, merasa sudah cukup dengan dilakukan selama ini tanpa
perlu lagi memberikan kontribusi harta.
Tentu
saja hal ini berbeda dengan semangat yang diajarkan oleh para rasul
dan sahabatnya dahulu. Dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid,
mereka tidak memandang jenis yang diberikan, namun apa yang bisa
diberikan. Jika ada yang bisa diberikan maka akan diberikan.
Berangkat
dari firman Allah dalam Q.S. At Taubah ayat 111 yang artinya.
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah terjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan
itulah kemenangan yang besar.”
Makna
dari ayat tersebut adalah jika kita menginginkan surga Allah, maka
kita harus mau berjuang dan memberikan sebagian besar dari apa yang
kita miliki untuk jalan Allah. Dalam arti luasnya adalah kita harus
siap mengkorbankan sebagian besar dari apa yang kita punya, baik
waktu, tenaga, pikiran, dan harta, hanya untuk bejuang meninggikan
agama Allah.
Tentu
saja orang yang berjuang dan meninggikan agama Allah, harus rela
dirinya lelah dan letih di jalan Allah. Lelah dalam arti setiap modal
yang kita punyai, harus senantiasa kita kerahkan sebagian besar untuk
menjalankan perintah Allah sebagai makhluk bertaqwa.
Dalam
ayat tersebut secara eksplisit Allah SWT menyatakan telah membeli
diri orang mukmin. Maksudnya adalah bahwa diri kira dengan segala
panca indra kita, beserta kesempurnaan dan keterbatasan yang kita
miliki untuk berdakwah dan menegakkan agama Allah.
Poin
Pertama dalam hal ini adalah diri kita. Kita bisa mengambil contoh
pengorbanan Abu Bakr. Walaupun telah meng-infak-kan banyak hartanya
yang berjumlah besar, tidak lantas membuat beliau merasa terbebas
dari dakwah, tidak. Sekali lagi tidak seperti itu.
Allah
telah membeli diri dari orang mukmin, sehingga bagaimanapun juga diri
seorang mukmin ini adalah milik Allah. Titik tekan dalam hal ini
bukan seberapa banyak dan beberapa besar hasilnya diri ini berjuang.
Namun, dikarenakan kemampuan tiap-tiap orang berbeda, maka yang
ditekankan adalah seberapa besar usaha diri ini untuk mencapai batas
maksimal dalam berjuang menegakkan agama Allah. Tentu saja dengan
pertimbangan yang logis dan masuk akal, dan pastinya berbeda pula
antara orang yang mempuyai fisik normal dengan mereka yang serba
terbatas dalam hal fisik.
Mereka
yang terlahir dalam keadaan normal, akan berbeda dengan mereka yang
terlahir dengan segala kekurangan dalam indrawinya. Begitu pula
antara yang sudah berkeluarga tentu saja perjuangannya akan berbeda
dengan yang masih belum berkeluarga. Sehingga yang bisa dijadikan
pertanyaan bagi kita adalah, sudahkah kita berjuang mendekati batas
kemampuan kita?
Poin
Kedua dalam hal ini adalah harta orang mukmin. Maksudnya adalah kita
juga diperintahkan untuk mengorbankan harta kita jika ingin terlibat
dalam perniagaan yang menguntungkan tersebut. Kita lihat bagaimana
miskinnya Bilal Bin Rabbah dan beberapa sahabat Rasul yang mengalami
‘Kekurangan Harta’ pada saat itu. Mereka menjalankan kerja
sebagai kuli di pasar hanya untuk bisa membayar zakat atau
bershadaqah.
Padahal
dalam peranan dakwah mereka adalah orang yang benar-benar totalitas
memberikan dirinya di garis depan perjuangan, namun walaupun begitu,
mereka masih mempuyai kewajiban dalam menginfakkan harta dan
bershadaqah dalam perjuangan Islam. Meskipun sampai harus menjadi
kuli angkut di pasar agar mendapatkan upah yang kemudian sebagian
mereka sedekahkan.
Dalam
poin kedua ini kita belajar bahwa tidak peduli kita berpera dalam
dunia dakwah secara langsung atau tidak, namun keterlibatan kita
dalam memberikan harta untuk perjuangan juga merupakan sebuah
keharusan selama masih mampu. Bagaimana batas mampu ini?
Tentu
saja diperhitungkan dengan kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya
serta pola hidup sederhana, masing-masing orang memiliki ukuran dan
kewajiban yang berbeda. Seperti yang dicontohkan para sahabat
Rasulullah SAW diatas antara Abu Bakr, Abdurahman bin Auf dan Billal
Bin Rabbah, berbeda secara nominal dan jumlah besarannya. Namun
ukuran mereka tetap sama, yang paling maksimal yang dimilikinya
dengan perhitungan pola hidup sederhana seperti diatas.
Bagi
sebagian diri orang mukmin, memang tidak mudah memberikan dirinya dan
hartanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Yang pada umumnya adalah
mereka berusaha melakukan rasionalisasi bahkan hanya berkorban tenaga
atau harta mereka saja sudah cukup, tidak perlu keduanya. Tentu hal
ini sangat sulit bagi mereka yang tidak memiliki rasa cinta dalam
perjuangan kepada jalan Allah SWT. Konsep ini akan sangat memberatkan
bagi mereka yang tidak totalitas kecintaannya terhadap perintah
Allah.
Sekali
lagi dalam hal ini kuncinya adalah kencintaan, karena pada
umumnya kita bisa memberi tanpa cinta, namun kita tak akan bisa
mencintai tanpa memberi, begitu juga dengan kecintaan terhadap Allah
SWT, maka sebuah keniscayaan adalah memberikan semua yang kita miliki
untuk perjuangan dalam jalan Allah tersebut.
Cinta
kepada Allah, yang membuat Abu Bakr as-Shiddiq menginfakkan seluruh
harta yang beliau miliki. Hal ini pula yang membuat Al Faruq Umar ibn
Khattab berkeliling seorang diri untuk mengayomi rakyatnya, dan juga
membuat Abdurahman bin Auf menjadi orangorang pertama ketika
dibutuhkan harta dalam modal perjuangan. Serta yang menyebabkan
Hanzhalah meninggalkan malam pernikahannya menuju medan Uhud,
demikianlah hakekat cinta kepada Allah, kita rela mengorbankan semua
hal yang kita miliki untuk Allah.
Seperti
yang telah dipertegas oleh Allah SWT dalam firmannya di Q.S.
At-Taubah ayat 24 yang artinya. “Katakanlah: “Jika bapa-bapa,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
di
dalam ayat tersebut jelas bahwa sebagai seseorang yang berjuang di
jalan Allah, pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara berkorban
diri atau harta atau selainnya, dalam arti lain kita dituntut untuk
mengorbankan semua yang kita miliki di jalan Allah dengan
pembangunan masyarakat Madani, inilah hakikat sebuah cinta
kepada Allah SWT, merelakan semuanya untuk Allah.
Memang
penerapannya tidak mudah namun dengan semangat yang tinggi, pola
pikir yang benar, kecintaan kepada Illah yang tiada batas, maka kita
akan mampu menjadi orang-orang mulia seperti sahabat Rasul yang
mengorbankan segalanya yang mereka miliki di jalan Allah, mereka rela
bersusah payah untuk Allah, lebih tepatnya adalah bersusah payah di
jalan Allah.
Kesimpulan.
1.
Dalam berkorban dan berkontribusi dalam jalan dakwah, tidak melihat
jenis apa yang kita pilih, tidak melihat apa yang kita inginkan,
namun melihat apa yang kita punya.
2.
Kecintaan terhadap Allah akan menentukan seberapa asyiknya kita
berjuang dalam jalan Allah dan akan menentukan seberapa bermaknanya
hidup kita.
3.
Kecintaan terhadap Allah, memunculkan tuntutan untuk memberi, karena
kecintaan tanpa memberi adalah sebuah kemustahilan.
4.
Dalam Q.S. At-Taubah ayat 24 dan ayat 111 dijelaskan bahwa tiada yang
patut kita cintai melebihi cinta kepada Allah.
5.
Semakin kita berat melakukannya, jika berhasil, maka semakin besar
nilai perjuangan yang kita berikan. Seperti Abu Bakr dengan Hartanya,
Abdurahman bin Auf dengan perdagangan dan barang perniagaan yang
dimilikinya, Umar bin Khattab dengan tenaga dan dirinya, serta
Hanzhalah dengan pasangan yang baru dinikahinya...
Oleh :
Hanni
Munaf