google-site-verification:google853a3110870e4513.html Kontribusi di jalan Allah: Harta dan Dakwah - Hikmah

Translate

Kontribusi di jalan Allah: Harta dan Dakwah


Jika di tanya tentang apa kontribusi manusia sebagai Khalifah fil ardh dalam sejarah dan berbagai pengalaman dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan sahabat, mereka tidak pernah membeda-bedakan antara tenaga dan harta. tidak jarang mereka yang sudah berjuang secara fisik, masih rela keluar harta untuk perjuangan pula. Begitupun sebaliknya mereka yang sudah banyak mengorbankan harta juga masih memberikan yang bisa dia lakukan semisal pikiran, jasa atau tenaga.

Satu hal yang dapat diambil dalam hal ini adalah dalam perjuangan dakwah menegakkan agama Allah SWT, kita harus memberikan apa yang kita punya yang dibutuhkan oleh Islam secara totalitas, apapun itu yang kita punyai, entah tenaga atau harta yang dimilikinya.

Terkadang dalam dinamika masyarakat, ada saja mereka yang masih membedakan bentuk kontribusi dan bentuk perjuangannya dalam Islam. Merasa berada pada bidang sisi harta atau bisnis, lalu beranggapan tidak perlu turut campur langsung dalam dunia dakwah. Sebaliknya yang berkarir dalam dakwah, merasa sudah cukup dengan dilakukan selama ini tanpa perlu lagi memberikan kontribusi harta.

Tentu saja hal ini berbeda dengan semangat yang diajarkan oleh para rasul dan sahabatnya dahulu. Dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid, mereka tidak memandang jenis yang diberikan, namun apa yang bisa diberikan. Jika ada yang bisa diberikan maka akan diberikan.

Berangkat dari firman Allah dalam Q.S. At Taubah ayat 111 yang artinya.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah terjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Makna dari ayat tersebut adalah jika kita menginginkan surga Allah, maka kita harus mau berjuang dan memberikan sebagian besar dari apa yang kita miliki untuk jalan Allah. Dalam arti luasnya adalah kita harus siap mengkorbankan sebagian besar dari apa yang kita punya, baik waktu, tenaga, pikiran, dan harta, hanya untuk bejuang meninggikan agama Allah.

Tentu saja orang yang berjuang dan meninggikan agama Allah, harus rela dirinya lelah dan letih di jalan Allah. Lelah dalam arti setiap modal yang kita punyai, harus senantiasa kita kerahkan sebagian besar untuk menjalankan perintah Allah sebagai makhluk bertaqwa.

Dalam ayat tersebut secara eksplisit Allah SWT menyatakan telah membeli diri orang mukmin. Maksudnya adalah bahwa diri kira dengan segala panca indra kita, beserta kesempurnaan dan keterbatasan yang kita miliki untuk berdakwah dan menegakkan agama Allah.

Poin Pertama dalam hal ini adalah diri kita. Kita bisa mengambil contoh pengorbanan Abu Bakr. Walaupun telah meng-infak-kan banyak hartanya yang berjumlah besar, tidak lantas membuat beliau merasa terbebas dari dakwah, tidak. Sekali lagi tidak seperti itu.

Allah telah membeli diri dari orang mukmin, sehingga bagaimanapun juga diri seorang mukmin ini adalah milik Allah. Titik tekan dalam hal ini bukan seberapa banyak dan beberapa besar hasilnya diri ini berjuang. Namun, dikarenakan kemampuan tiap-tiap orang berbeda, maka yang ditekankan adalah seberapa besar usaha diri ini untuk mencapai batas maksimal dalam berjuang menegakkan agama Allah. Tentu saja dengan pertimbangan yang logis dan masuk akal, dan pastinya berbeda pula antara orang yang mempuyai fisik normal dengan mereka yang serba terbatas dalam hal fisik.

Mereka yang terlahir dalam keadaan normal, akan berbeda dengan mereka yang terlahir dengan segala kekurangan dalam indrawinya. Begitu pula antara yang sudah berkeluarga tentu saja perjuangannya akan berbeda dengan yang masih belum berkeluarga. Sehingga yang bisa dijadikan pertanyaan bagi kita adalah, sudahkah kita berjuang mendekati batas kemampuan kita?

Poin Kedua dalam hal ini adalah harta orang mukmin. Maksudnya adalah kita juga diperintahkan untuk mengorbankan harta kita jika ingin terlibat dalam perniagaan yang menguntungkan tersebut. Kita lihat bagaimana miskinnya Bilal Bin Rabbah dan beberapa sahabat Rasul yang mengalami ‘Kekurangan Harta’ pada saat itu. Mereka menjalankan kerja sebagai kuli di pasar hanya untuk bisa membayar zakat atau bershadaqah.

Padahal dalam peranan dakwah mereka adalah orang yang benar-benar totalitas memberikan dirinya di garis depan perjuangan, namun walaupun begitu, mereka masih mempuyai kewajiban dalam menginfakkan harta dan bershadaqah dalam perjuangan Islam. Meskipun sampai harus menjadi kuli angkut di pasar agar mendapatkan upah yang kemudian sebagian mereka sedekahkan.

Dalam poin kedua ini kita belajar bahwa tidak peduli kita berpera dalam dunia dakwah secara langsung atau tidak, namun keterlibatan kita dalam memberikan harta untuk perjuangan juga merupakan sebuah keharusan selama masih mampu. Bagaimana batas mampu ini?

Tentu saja diperhitungkan dengan kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya serta pola hidup sederhana, masing-masing orang memiliki ukuran dan kewajiban yang berbeda. Seperti yang dicontohkan para sahabat Rasulullah SAW diatas antara Abu Bakr, Abdurahman bin Auf dan Billal Bin Rabbah, berbeda secara nominal dan jumlah besarannya. Namun ukuran mereka tetap sama, yang paling maksimal yang dimilikinya dengan perhitungan pola hidup sederhana seperti diatas.

Bagi sebagian diri orang mukmin, memang tidak mudah memberikan dirinya dan hartanya untuk kepentingan perjuangan Islam. Yang pada umumnya adalah mereka berusaha melakukan rasionalisasi bahkan hanya berkorban tenaga atau harta mereka saja sudah cukup, tidak perlu keduanya. Tentu hal ini sangat sulit bagi mereka yang tidak memiliki rasa cinta dalam perjuangan kepada jalan Allah SWT. Konsep ini akan sangat memberatkan bagi mereka yang tidak totalitas kecintaannya terhadap perintah Allah.

Sekali lagi dalam hal ini kuncinya adalah kencintaan, karena pada umumnya kita bisa memberi tanpa cinta, namun kita tak akan bisa mencintai tanpa memberi, begitu juga dengan kecintaan terhadap Allah SWT, maka sebuah keniscayaan adalah memberikan semua yang kita miliki untuk perjuangan dalam jalan Allah tersebut.

Cinta kepada Allah, yang membuat Abu Bakr as-Shiddiq menginfakkan seluruh harta yang beliau miliki. Hal ini pula yang membuat Al Faruq Umar ibn Khattab berkeliling seorang diri untuk mengayomi rakyatnya, dan juga membuat Abdurahman bin Auf menjadi orangorang pertama ketika dibutuhkan harta dalam modal perjuangan. Serta yang menyebabkan Hanzhalah meninggalkan malam pernikahannya menuju medan Uhud, demikianlah hakekat cinta kepada Allah, kita rela mengorbankan semua hal yang kita miliki untuk Allah.

Seperti yang telah dipertegas oleh Allah SWT dalam firmannya di Q.S. At-Taubah ayat 24 yang artinya. “Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

di dalam ayat tersebut jelas bahwa sebagai seseorang yang berjuang di jalan Allah, pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara berkorban diri atau harta atau selainnya, dalam arti lain kita dituntut untuk mengorbankan semua yang kita miliki di jalan Allah dengan pembangunan masyarakat Madani, inilah hakikat sebuah cinta kepada Allah SWT, merelakan semuanya untuk Allah.

Memang penerapannya tidak mudah namun dengan semangat yang tinggi, pola pikir yang benar, kecintaan kepada Illah yang tiada batas, maka kita akan mampu menjadi orang-orang mulia seperti sahabat Rasul yang mengorbankan segalanya yang mereka miliki di jalan Allah, mereka rela bersusah payah untuk Allah, lebih tepatnya adalah bersusah payah di jalan Allah.


Kesimpulan.

1. Dalam berkorban dan berkontribusi dalam jalan dakwah, tidak melihat jenis apa yang kita pilih, tidak melihat apa yang kita inginkan, namun melihat apa yang kita punya.

2. Kecintaan terhadap Allah akan menentukan seberapa asyiknya kita berjuang dalam jalan Allah dan akan menentukan seberapa bermaknanya hidup kita.

3. Kecintaan terhadap Allah, memunculkan tuntutan untuk memberi, karena kecintaan tanpa memberi adalah sebuah kemustahilan.

4. Dalam Q.S. At-Taubah ayat 24 dan ayat 111 dijelaskan bahwa tiada yang patut kita cintai melebihi cinta kepada Allah.

5. Semakin kita berat melakukannya, jika berhasil, maka semakin besar nilai perjuangan yang kita berikan. Seperti Abu Bakr dengan Hartanya, Abdurahman bin Auf dengan perdagangan dan barang perniagaan yang dimilikinya, Umar bin Khattab dengan tenaga dan dirinya, serta Hanzhalah dengan pasangan yang baru dinikahinya...

Oleh :
Hanni Munaf

Share on Google Plus

About Unknown

“Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain kepadamu. Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalaam menjawab: “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian jujurlah kepada iman-mu(istiqamah)." Hadist Riwayat Muslim