Di penghujung tahun 2015 ini begitu special bagi kedua agama terbesar dunia yaitu Islam dan Kristen, tanggal 24 Desember 2015 bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan tanggal 25 Desember 2015 umat kristiani melakukan perayaan natal setiap tahunnya.
moment yang jarang terjadi ini baiknya sebagai sesama umat beragama kembali melakukan kontemplasi dan renungan untuk memperbaiki diri dan menyongsong kehidupan baru di tahun baru yang sebentar lagi datang. isu fundamentalis dan hubungan inter-relijius sesama umat beragama yang pada tahun belakangan ini sering terangkat dipermukaan dengan sebab-sebab yang masih terlihat samar-samar.
Garis bawah dari
pertanyaan ‘Mungkinkah Hubungan Inter-Relijius’ adalah bahwa dua
kesatuan besar umat manusia dalam tulisan ini, Kristen dan Islam, harus
berpikir jauh ke depan dan menanamkan semangat kebaikan dan cinta, dalam
menghadapi masa depan kehidupan di dunia.
Islam: Agama Ini Bermula dari Sebuah Perintah ‘Bacalah!’
Umat
Islam selalu mengeluh bahwa sedang berada dalam keterpurukan peradaban,
tetapi tak pernah mencoba untuk bangkit dengan semangat sejati agama
Islam, yaitu Ilmu. Di masa lalu, Islam jaya karena Ilmu, karena
kearifan, dan karena kebijaksanaan yang agung dari perenungan spiritual.
Bolehlah
berdalih dan merajuk, bahwa sejarah mencatat, umat Islam telah di
Dzolimi di masa lalu, tetapi mengapa tak mau kembali kepada Allah?
Bukankah Dia telah berfirman dalam Alkitab Surat Al-A`raf 34, bahwa
tiap-tiap bangsa memiliki masanya sendiri, dan Allah akan mengganti masa
kejayaan masing-masingnya agar bisa saling belajar?
Tak
pelak, keterpurukan Islam sangatlah pantas untuk kita renungkan sebagai
Rencana Illahi, agar kita senantiasa merenung, dan barangkali, agar
kita tak jadi umat yang takabur, dan kemudian tersesatkan oleh nafsu
untuk berbuat dzalim kepada umat lain.
Jika
kita ingin bangkit, maka jalan satu-satunya adalah kembali pada Ilmu,
karena Ilmu adalah cahaya, dan karena Ilmu-lah kita telah mencapai
kegemilangan di masa lalu. Dan, bukankah Nabi S.a.w diperintah untuk
membaca pada saat disapa Tuhan melalui Jibril pada saat perjumpaan
pertama? Yah!, menjadi pintar dan berilmu adalah satu-satunya
jalan, agar kita bisa kembali—sedikit demi sedikit—meraih manisnya
kemajuan peradaban.
Umat Kristen: Kembali Kepada Kasih Yesus, dan Dewasa
Bagi
umat Kristiani, barangkali, pondasi berpikir yang paling bijaksana
adalah berbelas-kasihan. Bukankah Yesus Kristus selalu menyeru pada kita
untuk mengasihi umat manusia? Umat Islam, sebagai saudara kandung
sesama Anak Adam, sesama Domba-Domba Tersesat yang sedang mencari jalan
menuju ke Haribaan Sang Penyelamat, adalah saudara yang sedang berada
dalam titik krisis kekaburan orientasi kehidupan dunia. Tentu saja,
sudut pandang dari sikap untuk mengasihi itu bukan tentang
harapan-harapan akan Kesatuan Umat dalam Kerajaan Kristen, tetapi sudut
pandang yang murni dan bening, tanpa kacamata-kacamata
emosional-keagamaan.
Kemudian,
bijak kiranya, jika umat Kristen mau membedakan kesatuan identitas
antara Barat dan Agama Kristen. Barat memang menjadi bagian besar dari
perkembangan Agama Kristen, tetapi Barat bukan sama dengan Kristen.
Kristen lahir di Timur, di Yerusalem. Impilkasi luar biasa dari
paradigma ini adalah, bahwa kita akan mampu membaca dan memahami sejarah
dalam tiap-tiap muatannya yang berbeda tetapi bercampur-aduk menjadi
satu, antara muatan politis, emosional, egosentris atau semangat sakral
keagamaan. Dari sejarah yang telah berlalu, konflik-konflik kelam yang
mengaitkan diri pada tubuh agama adalah konflik yang berasal dari
sifat-sifat rendah manusia untuk menang dan menyingkirkan yang lain
(egosentris).
Khusus
mengenai isu Fundamentalisme dan Terorisme Islam, umat Kristen
semestinya tidak mengait-tubuhkan dengan Islam itu sendiri, melainkan
harus menelitinya dan memahaminya sebagai fenomena sosial-emosional yang
memiliki latar sejarah yang panjang, yang dalam hal ini berkait erat
dengan sejarah Kristen Barat di masa lalu.