Pendahuluan
Di
antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji
teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang
erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan
perkembangan kejadian-kejadian historis (1).
Jika fenomena itu
benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam
bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan
perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya.
Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan
pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian
sejarah Islam.
Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan
keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua
bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di
antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran
itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan
terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau
rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu.
Kadang-kadang
suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung
pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui
perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa
sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena
adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan
realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak
dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik
untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya
sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan
dengannya.
Secara berurutan sesuai dengan fase-fase
perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan
alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan
yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas
pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi
tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan
mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era
ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai
semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia
untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini
paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau
"wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang
membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal
yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat
sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya
dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki
perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim
oleh beberapa orientalis (2).
Bahkan fase yang pertama
merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada
fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah
ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian
pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil
dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general
selesai dijabarkan secara mendetail.
Syari'at Islam
disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan
dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu
seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya
secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada
tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan
politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan
fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan
kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan
independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara
penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan
dalam langkah-langkah praksis.
Namun, dalam pandangan sejarah,
ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya
sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan.
Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah
kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak
rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya
sepanjang sejarah.
Sedangkan dari segi pemikiran teoritis,
pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang
terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan
contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan
pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu
berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi
pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda.
Sedangkan
selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya
pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing.
Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem
umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang
hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis
terhadap salah satu sifatnya.
Atau dengan kata lain, analisis
terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'.
Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu
atmosfir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan
terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan.
Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah
adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat,
dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku
yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah
sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini
oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang
terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka
menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang
agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama
sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil
'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era
persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta
menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan
replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan
ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian.
Namun,
'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat
logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan
terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut
berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya
mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori
politik' secara lengkap.
Di antara faktor-faktor yang
terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang
didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip
kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan
wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti
tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi
formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang
faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem
yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup
bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan
diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak
disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem
politik par excellence.
Dalam waktu yang sama, juga tidak
menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem
religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan
fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan
demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu
sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum
urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus
perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan
akhirat.
Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan
tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi
perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya
menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling
beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta
tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan
banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti.
Hal itu telah
didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum
Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian,
ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka
sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari
fakta ini!.
Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar
'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah
sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan
Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan
materi dalam kehidupan dunia ini.
Di antara urusan-urusan ini
adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling
utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka
adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk
mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami
menbedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak
mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan
mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja
telah mencampakkannya!.
Oleh karena itu, cukuplah kami kutip
beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka
telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas.
Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak
dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis
itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam
menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan
metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para
orientalis itu adalah sebagai berikut:
- Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
- Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
- Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
- Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
- Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
- Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
- Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh
pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di
antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun
adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk
bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen
yang membedakannya dari masyarakat lain.
Mengakui satu
undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem
yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara
individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan
ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan
solidaritas secara umum.
Bangunan masyarakat yang memiliki
semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan
masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'.
Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya
fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah
disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di
antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga
adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah
memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan
tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju
dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan
kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan
adanya penduduk.
Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan
dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari
Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para
faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh
seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan
suatu titik transformasi dalam Islam (11).
Dan peristiwa hijrah
hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa
bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi
adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan
'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu.
Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan
kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis
oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan
menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan
pemerintahan.
Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan
Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi,
sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini
berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas
kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah
kontrak historis.
Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh
semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan
manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang
matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan
demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat
jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang
jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai
tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara
Islam yang baru tumbuh ini.
Seperti Penyiapan perangkat untuk
mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan
pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau
mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta
sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya.
Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta
sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima
kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga
ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti
sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di
samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir
sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam.
Jika telah
dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi,
bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka
terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi
keberadaan pemikiran politik.
Karena semua pemikiran tentang
hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya,
sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang
sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik.
Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan
pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi
kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang
beragam.
Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan
seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1)
Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N.
Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan
bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang
besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia
membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi
yang berlangsung pada saat itu.
Di antara ungkapannya itu
adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini
lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada,
ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang
didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa
peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia
merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang
tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian
yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik
Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya,
serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan
beliau.
Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi
antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan
mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di
Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan
fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan
Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode
kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama.
Dan perbedaan
yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor
penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang
signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan
Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah.
Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi.
Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan
membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama
di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya
yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa
Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami
ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn
pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti
secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat,
terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul:
bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11)
Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di
dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami
sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al
Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua,
Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad
Khudhari, juz 1, hal. 79-83.
Kami cukup mengutip sedikit
darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang
pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah,
dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah.
Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang
keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum
yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal.
Sedangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu,
pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga
laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat
itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya--
adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan
perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu,
dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan
membela kebenaran.
Catatan Penterjemah:
Date: Thu, 10 Aug 2000 00:55:20 +0300
From: "alkattani"
To:
From: "alkattani"
To:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Beberapa
bulan yang lalu, saya dan beberapa orang rekan telah
menyelesaikan penerjemahan buku Nazhariyyat as Siyasiyyah al
Islamiyyah (Teori Politik Islam) yang cukup tebal, yang ditulis
oleh Dr. Muhammad Dhiauddin Rais, Guru Besar dan Ketua Jurusan
Sejarah Islam Fakultas Darul Ulum -- Universitas Kairo. Banyak
orang yang mengatakan bahwa buku ini adalah buku terbaik yang
pernah ditulis dalam bidang Teori Politik Islam.
Mudah-mudahan
dalam beberapa bulan mendatang GIP bisa segera menerbitkan buku
tersebut, sehingga bisa segera memberikan manfaat bagi kaum
Muslimin Indonesia yang sedang amat membutuhkan guidance dalam
berpolitik. Sebagai bahan sementara, berikut ini saya
kirimkan beberapa halaman dari buku tersebut (dalam dua
postingan). Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abdul Hayyie al Kattani
Abdul Hayyie al Kattani