google-site-verification:google853a3110870e4513.html ISLAM AGAMA RASIONAL TAPI KENAPA UMATNYA TIDAK ? - Hikmah

Translate

ISLAM AGAMA RASIONAL TAPI KENAPA UMATNYA TIDAK ?

Islam adalah agama yang rasional tapi kenapa sebagian umatnya tidak memakai akal? Rasional (dalam bahasa Inggris: rational) dapat memiliki beberapa makna tergantung pada konteks penggunaannya. Namun, secara umum, rasional merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan akal atau pemikiran yang logis dan masuk akal.

Dalam matematika, bilangan rasional adalah bilangan yang dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan, dengan pembilang dan penyebutnya berupa bilangan bulat. Bilangan rasional meliputi bilangan bulat, bilangan pecahan, dan bilangan campuran.

Dalam konteks psikologi, rasional sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menggunakan akal sehat dan logika dalam memproses informasi dan membuat keputusan. Rasionalitas juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir secara kritis dan obyektif, mempertimbangkan informasi yang tersedia secara sistematis, dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan pemikiran yang masuk akal.

Dalam filsafat, rasionalitas sering dikaitkan dengan pemikiran yang didasarkan pada akal sehat dan penalaran logis, berbeda dengan keyakinan yang didasarkan pada kepercayaan tanpa bukti atau pengalaman empiris. Secara umum, rasional merujuk pada sesuatu yang didasarkan pada akal sehat dan penalaran logis, serta dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.

Dalam konteks agama dan spiritualitas, akal dan hati nurani memiliki peran dan makna yang berbeda.

Akal adalah kemampuan rasional manusia untuk berpikir, menalar, dan merenung. Dalam Islam, akal dianggap sebagai nikmat dan karunia Allah yang harus digunakan dengan baik dan bijak dalam menjalani kehidupan. Akal dipandang sebagai sarana untuk memahami kebenaran, mengetahui hak dan batil, serta memilih jalan hidup yang tepat. Akal memberikan kemampuan manusia untuk berfikir dan mengambil keputusan dengan bijaksana dan berdasarkan pemikiran yang rasional.

Sementara itu, hati nurani dalam Islam adalah kemampuan batiniah manusia untuk memahami kebenaran secara intuitif, tanpa melalui proses berpikir yang panjang. Hati nurani juga sering disebut sebagai hati yang bersih, hati yang jernih, atau hati yang suci. Hati nurani dipandang sebagai sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran dan keindahan, serta untuk memperoleh pengalaman spiritual yang lebih dalam.

Meskipun keduanya memiliki peran dan makna yang berbeda dalam Islam, namun keduanya juga saling terkait dan saling melengkapi. Dalam pengambilan keputusan, misalnya, manusia diharapkan untuk menggunakan akal untuk berfikir secara rasional dan hati nurani untuk merasakan kebenaran secara batiniah. Keduanya juga diharapkan untuk digunakan secara seimbang, sehingga manusia tidak hanya mengandalkan satu sisi saja dalam menjalani kehidupan dan mencari kebenaran.

Rasionalitas pada agama dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami atau menjelaskan keyakinan agama dengan logika dan pemikiran yang masuk akal. Hal ini dapat mencakup penggunaan akal sehat dan penalaran logis dalam memahami ajaran agama, serta mencari bukti dan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.

Ada agama yang menghargai nilai rasionalitas dalam memahami keyakinan agama, dan bahkan menekankan pentingnya pengetahuan dan pemikiran yang sehat dalam memahami ajaran agama. Contohnya, dalam Islam, konsep aql (akal) sangat penting dan dianggap sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah yang harus digunakan untuk memahami ajaran agama dan memperoleh pengetahuan.

Namun, terkadang terdapat ketegangan antara akal sehat dan keyakinan agama. Beberapa keyakinan agama mungkin sulit untuk dipahami atau dijelaskan secara logis dan rasional, atau bahkan bertentangan dengan pengetahuan dan bukti ilmiah yang diterima secara umum. Dalam hal ini, perlu dilakukan refleksi dan dialog kritis antara keyakinan agama dan pemikiran rasional untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan holistik.


Dalam Alquran, terdapat banyak ayat yang mengenai akal dan pentingnya menggunakan akal untuk memahami ajaran-ajaran agama. Beberapa contohnya adalah:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190)

Ayat ini menunjukkan bahwa terdapat tanda-tanda penciptaan Allah yang dapat dipahami dengan menggunakan akal dan memperhatikan alam semesta.

"Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.' Namun tidaklah bermanfaat tanda-tanda dan peringatan-peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS. Yunus: 101)

Ayat ini menekankan pentingnya menggunakan akal untuk memahami tanda-tanda penciptaan Allah di alam semesta, dan menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman mungkin tidak mampu memahaminya.

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya. Sesungguhnya ia termasuk (kitab-kitab) yang besar." (QS. Az-Zukhruf: 3)

Ayat ini menunjukkan pentingnya menggunakan akal dalam memahami Alquran, yang diberikan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami secara lebih akurat dan mendalam.

Dari ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa akal merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah yang harus digunakan dengan baik untuk memahami ajaran-ajaran agama, dan bahwa pemahaman yang mendalam tentang penciptaan Allah dapat dicapai dengan menggunakan akal dan memperhatikan tanda-tanda yang terdapat di alam semesta.

Islam menekankan pentingnya menggunakan akal dalam beragama dan memahami ajaran-ajaran agama secara logis dan rasional. Sebagai contoh, dalam Islam terdapat konsep 'aql' atau akal, yang sangat penting dan dianggap sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah yang harus digunakan untuk memahami ajaran agama dan memperoleh pengetahuan. Dalam Al-Quran, Allah menegaskan bahwa manusia diberikan akal agar dapat memikirkan, merenungkan, dan memahami kebenaran (QS. Al-Hajj: 46).

Selain itu, dalam sejarah perkembangan Islam, para ulama dan sarjana muslim telah menggunakan akal dan penalaran dalam memahami ajaran agama dan mengekspresikannya dalam karya-karya ilmiah dan filsafat. Bahkan, banyak konsep dan teori dalam matematika, astronomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan lainnya yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim abad pertengahan didasarkan pada logika dan pemikiran rasional.

Namun, terkadang ada kesalahpahaman atau kekeliruan dalam memahami ajaran Islam, yang dapat mengarah pada pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, ketika seseorang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran atau hadis secara literal tanpa mempertimbangkan konteks historis dan sosialnya, atau ketika seseorang tidak mempertimbangkan pemahaman yang lebih luas dan holistik dari ajaran agama.

Dalam hal ini, perlu dilakukan refleksi dan dialog kritis antara keyakinan agama dan pemikiran rasional untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan holistik. Namun, secara umum, Islam mengajarkan bahwa akal merupakan anugerah yang harus digunakan dengan baik dalam memahami ajaran agama dan memperoleh pengetahuan.

Dalam Al-Quran, Allah mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki akal yang harus digunakan untuk memikirkan dan merenungkan kebenaran serta ajaran-Nya. Allah menyerukan agar manusia memikirkan tanda-tanda penciptaan-Nya dan menggunakan akal untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan holistik tentang ajaran agama. Dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah menegaskan bahwa orang yang tidak mempergunakan akalnya dalam memahami kebenaran dan ajaran agama, maka mereka tidak akan memperoleh petunjuk atau hidayah dari Allah.

Sebagai contoh, dalam QS. Al-Furqan ayat 44, Allah berfirman: "Dan apabila mereka melihat kepadamu, mereka tidak lain hanyalah menertawakanmu, (karena) mereka mengatakan: 'Apakah orang ini (Muhammad) yang mengutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya dia hampir membawa kamu kepada kesesatan dari Tuhanmu.' Maka seandainya Kami tidak meneguhkan hatimu, tentulah kamu condong kepada mereka sedikit saja."

Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya dan memilih untuk menertawakan Nabi Muhammad dan ajaran agama Islam, mereka tidak akan memperoleh hidayah atau petunjuk dari Allah, dan hanya akan mengalami kerugian.

Dalam Islam, ada banyak pengajaran tentang pentingnya mensyukuri nikmat Allah dan menghindari menyia-nyiakan nikmat tersebut. Nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada manusia meliputi berbagai hal, seperti kesehatan, kekayaan, keluarga, dan akal. Jika manusia tidak mensyukuri nikmat Allah dan menyia-nyiakannya, maka ada ancaman hukuman dari Allah.

Dalam Al-Quran, Allah seringkali menekankan tentang pentingnya mensyukuri nikmat-Nya dan menghindari menyia-nyiakannya. Allah juga memperingatkan bahwa jika manusia tidak mensyukuri nikmat-Nya, maka Dia bisa mencabut nikmat tersebut atau memberikan hukuman. Sebagai contoh, dalam QS. Ibrahim ayat 7, Allah berfirman: "Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Jika kamu bersyukur, pasti akan Kuambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Dalam ayat tersebut, Allah mengajarkan bahwa jika manusia mensyukuri nikmat-Nya, maka Dia akan menambahkan nikmat tersebut. Namun, jika manusia mengingkari nikmat-Nya, maka Allah memberikan ancaman hukuman yang sangat pedih.

Selain itu, dalam Islam juga terdapat konsep tentang hari kiamat, yaitu hari di mana manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan dan penggunaan nikmat Allah selama hidup di dunia. Manusia yang tidak mensyukuri nikmat Allah atau menyia-nyiakannya bisa mendapatkan hukuman di akhirat. Sebagai contoh, dalam QS. Al-Ma'un ayat 3-4, Allah berfirman: "Maka celakalah orang yang shalat, (tetapi) yang lalai dalam shalatnya. Mereka (yang lalai) itu yang suka berpameran dan enggan (memberi) pertolongan."

Dalam ayat tersebut, Allah memberikan ancaman hukuman bagi orang yang shalat namun lalai dalam shalatnya, karena mereka tidak mempergunakan nikmat shalat dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam Islam, sangat penting bagi umat Muslim untuk mensyukuri nikmat Allah dan mempergunakan nikmat tersebut dengan baik dan benar, sehingga terhindar dari hukuman Allah.

Share on Google Plus

About zero

“Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain kepadamu. Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalaam menjawab: “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian jujurlah kepada iman-mu(istiqamah)." Hadist Riwayat Muslim